Minggu, 25 Oktober 2015

CONTOH KASUS TELEMATIKA DI INDONESIA

CONTOH KASUS TELEMATIKA DI INDONESIA


1.     Kasus “Penyadapan Australia Terhadap Indonesia”

Salah satu contoh kasus telematika yang pernah terjadi di Indonesia yaitu mengenai penyadapan yang dilakukan Australia pada sejumlah petinggi pemerintahan di Indonesia yang dianggap melanggar etika kerjasama antar negara. Pihak pemerintahan Indonesia secara tegas melayangkan nota protes melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa atas kegiatan penyadapan yang dilakukan Australia dan AS. Sikap ini merupakan upaya awal sebelum melakukan tindakan keras berupa pemutusan hubungan diplomatik antar kedua negara. Terungkapnya penyadapan yang dilakukan Australia dilakukan atas dasar pengkhiatan yang dilakukan oleh mantan pegawai kontrak Snowden. Tindakan penyadapan yang dilakukan pemerintah Australia dilakukan untuk mencari informasi secara ilegal sehingga pihak pemerintah Australia dapat lebih dahulu mengetahui tentang kebijakan apa yang akan dibuat oleh pemerintah Indonesia.
Tindakan ini dinilai tidak sehat dalam suatu hubungan diplomatik antar negara karena dilandasi rasa ingin tau mengenai gagasan atau kebijakan yang akan diambil dari negara yang disadap. Tindakan penyadapan juga dianggap bertentangan dengan hukum internasional karena tidak sesuai dengan norma yang diatur dalam Konverensi tentang Hubungan Diplomatik.
Tanggapan dan ulasan :
Setelah saya membaca studi kasus diatas mengenai penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap para petinggi Indonesia, menurut saya kasus ini terjadi karena semakin maju dan berkembangnya teknologi telekomunikasi di dunia. Telekomunikasi dapat membawa pengaruh positif maupun negatif bagi kehidupan suatu individu, masyarakat maupun pemerintahan. Dampak positif  dengan adanya telematika kita dapat memanfaatkan layanan E-mail, E-commerce, E-learning, E-Banking, E-Goverment dan lain-lain sehingga transaksi dan informasi dapat dengan mudah dan cepat didapatkan melalui perantara telematika. Namun disisi lain apabila penggunaan telematika tidak dilakukan dengan bijak, maka akan menyebabkan kerugian bagi suatu pihak, baik perorangan, golongan maupun pemerintahan, salah satunya adalah mengenai kasus di atas. Dengan semakin maju dan berkembangnya telematika di seluruh dunia, suatu pihak yang tidak bertanggung jawab dapat memanfaatkan kemampuannya dalam bidang telematika untuk melakukan hal-hal yang sepatutnya tidak dilakukan seperti penyadapan. Namun dengan bantuan teknologi telematika pula hal tersebut dapat dicegah dan dihindari dengan memanfaatan metode telekomunikasi tertutup. Penggunaan telematika dapat menjadi suatu hal yang positif dan negatif tergantung dari siapa dan untuk apa seseorang menggunakannya. Oleh karena itu, gunakanlah teknologi telematika dengan sebijak-bijaknya agar hal tersebut diatas tidak terulang lagi.


2.     KasusBank BCA jadi sasaran carding”

Dunia perbankan melalui Internet (ebanking) Indonesia, dikejutkan oleh ulah seseorang bernama Steven Haryanto, seorang hacker dan jurnalis pada majalah Master Web. Lelaki asal Bandung ini dengan sengaja membuat situs asli tapi palsu layanan Internet banking Bank Central Asia, (BCA). Steven membeli domain-domain dengan nama mirip http://www.klikbca.com (situs asli Internet banking BCA), yaitu domain wwwklik-bca.com, kilkbca.com, clikbca.com, klickca.com. dan klikbac.com. Isi situs-situs plesetan inipun nyaris sama, kecuali tidak adanya security untuk bertransaksi dan adanya formulir akses (login form) palsu. Jika nasabah BCA salah mengetik situs BCA asli maka nasabah tersebut masuk perangkap situs plesetan yang dibuat oleh Steven sehingga identitas pengguna (user id) dan nomor identitas personal (PIN) dapat di ketahuinya. Diperkirakan, 130 nasabah BCA tercuri datanya. Menurut pengakuan Steven pada situs bagi para webmaster di Indonesia, http://www.webmaster.or.id, tujuan membuat situs plesetan adalah agar publik menjadi lebih berhati – hati dan tidak ceroboh saat melakukan pengetikan alamat situs (typo site), bukan untuk mengeruk keuntungan.
Menurut perusahaan Security Clear Commerce di Texas USA, saat ini Indonesia menduduki peringkat ke 2 setelah Ukraina dalam hal kejahatan Carding dengan memanfaatkan teknologi informasi (Internet) yaitu menggunakan nomor kartu kredit orang lain untuk melakukan pemesanan barang secara online. Komunikasi awalnya dibangun melalui e-mail untuk menanyakan kondisi barang dan melakukan transaksi. Setelah terjadi kesepakatan, pelaku memberikan nomor kartu kreditnya dan penjual mengirimkan barangnya, cara ini relatif aman bagi pelaku karena penjual biasanya membutuhkan 3 –5 hari untuk melakukan kliring atau pencairan dana sehingga pada saat penjual mengetahui bahwa nomor kartu kredit tersebut bukan milik pelaku barang sudah terlanjur terkirim. Dengan demikian maka terlihat bahwa kejahatan ini tidak mengenal batas wilayah (borderless) serta waktu kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang berbeda. Semua aksi itu dapat dilakukan hanya dari depan komputer yang memiliki akses Internet tanpa takut diketahui oleh orang lain/ saksi mata, sehingga kejahatan ini termasuk dalam Transnational Crime/ kejahatan antar negara yang pengungkapannya sering melibatkan penegak hukum lebih dari satu negara.
Tanggapan dan ulasan :
Menurut saya mencermati hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kejahatan IT/ Cybercrime memiliki karakter yang berbeda dengan tindak pidana umum baik dari segi pelaku, korban, modus operasi dan tempat kejadian perkara sehingga butuh penanganan dan pengaturan khusus di luar KUHP. Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesatnya haruslah di antisipasi dengan hukum yang mengaturnya dimana kepolisian merupakan lembaga aparat penegak hukum yang memegang peranan penting didalam penegakan hukum, sebab tanpa adanya hukum yang mengatur dan lembaga yang menegakkan maka dapat menimbulkan kekacauan didalam perkembangannya.
3.     Kasus “Kejahatan kartu kredit yang dilakukan lewat transaksi online di Yogyakarta”

Polda DI Yogyakarta menangkap lima carder dan mengamankan barang bukti bernilai puluhan juta, yang didapat dari merchant luar negeri. Begitu juga dengan yang dilakukan mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Bandung, Buy alias Sam. Akibat perbuatannya selama setahun, beberapa pihak di Jerman dirugikan sebesar 15.000 DM (sekitar Rp 70 juta). Para carder beberapa waktu lalu juga menyadap data kartu kredit dari dua outlet pusat perbelanjaan yang cukup terkenal. Caranya, saat kasir menggesek kartu pada waktu pembayaran, pada saat data berjalan ke bank-bank tertentu itulah data dicuri. Akibatnya, banyak laporan pemegang kartu kredit yang mendapatkan tagihan terhadap transaksi yang tidak pernah dilakukannya.
Modus kejahatan ini adalah penyalahgunaan kartu kredit oleh orang yang tidak berhak. Motif kegiatan dari kasus ini termasuk ke dalam cybercrime sebagai tindakan murni kejahatan. Hal ini dikarenakan si penyerang dengan sengaja menggunakan kartu kredit milik orang lain. Kasus cybercrime ini merupakan jenis carding. Sasaran dari kasus ini termasuk ke dalam jenis cybercrime menyerang hak milik (against property). Sasaran dari kasus kejahatan ini adalah cybercrime menyerang pribadi (against person).
Tanggapan dan ulasan :
Dari kasus di atas dapat kita ketahui bahwa keterampilan sesorang tidak hanya di nilai dari standar pendidikannya saja. Semakin berkembangnya teknologi, ditamah dengan perluasan jaringan internet memudahkan siapapun dalam mengeksplor pengetahuan. Bahkan hingga pengetahuan yang tidak baik hingga menghasilkan keterampilan yang merugikan orang lain. Solusi yang harusnya dijalankan adalah adanya cyberlaw, penggunaan enkripsi dan adanya dukungan lembaga khusus yang dapat memberikan informasi mengenai cybercrime.
Namun sampai saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang cyber crime belum juga terwujud. Cyber crime memang sulit untuk dinyatakan atau dikategorikan sebagai tindak pidana karena terbentur oleh asas legalitas. Untuk melakukan upaya penegakan hukum terhadap pelaku cyber crime, asas ini cenderung membatasi penegak hukum di Indonesia untuk melakukan penyelidikan ataupun penyidikan guna mengungkap perbuatan tersebut karena suatu aturan undang-undang yang mengatur cyber crime belum tersedia. Asas legalitas ini tidak memperbolehkan adanya suatu analogi untuk menentukan perbuatan pidana. Meskipun penerapan asas legalitas ini tidak boleh disimpangi, tetapi pada prakteknya asas ini tidak diterapkan secara tegas atau diperkenankan  untuk terdapat pengecualian.

4.     Kasus “Artis Indonesia”

Sandra dewi merupakan salah satu korban dari kejahatan telematika di Indonesia, Sandra Dewi kembali melakukan preskon untuk meng-klarifikasi foto-foto bugilnya yang merupakan hasil rekayasa orang yang tak bertanggung jawab. Dalam kesempatan tersebut, Sandra didampingi oleh seorang pengamat telematika Roy Suryo dan perwakilan dari Multivision. Dalam pandangan Roy, foto-foto Sandra jelas dan nyata hasil rekayasa semata. “Foto ini jelas merugikan Sandra Dewi secara mental maupun psikis. Untuk gambar kepala, master-nya diambil dari sebuah situs ternama. Dan kejahatan semacam ini memang ada belum ada undang-undangnya,” jelas Roy di Belezza Permata Hijau. Lebih lanjut, kata Roy, dirinya sebagai pengamat telematika dan bukan pakar telematika seperti selama ini banyak disebut media, selalu berusaha memberikan jawaban setiap ada pertanyaan. “Dan baru kali ini ada seorang artis secara tulus menelepon saya. Dalam kasus seperti ini ada tiga jenis motif. Pertama karena korban murni, kedua karena dijebak dan ketiga dengan sengaja orang tersebut menyebarkan untuk sebuah popularitas,” papar Roy.  “Dan kasus Sandra Dewi ini yang pertama. Jelas gambar ini masih terlihat kasar, tapi dengan kemajuan teknologi tidak menutup kemungkinan akan terlihat lebih halus pada tahun mendatang,” tambahnya. Sementara Sandra mengaku bahwa foto-foto bugil hasil rekayasa tersebut merupakan satu bentuk fitnah atas dirinya.

Tanggapan dan ulasan :

Merubah sebuah citra dengan sengaja demi mencari popularitas atau menjatuhkan popularitas objek tersebut sepertinya sudah biasa di dunia entertainment, khususnya di Indonesia. Banyaknya pengaduan yang dilakukan beberapa artis menggamarkan bahwa sebuah privacy sudah berubah status menjadi rahasia umum. Terlepas apakah foto-foto tersebut asli atau hanya rekayasa, seharusnya pengawasan teknologi di dalam negri harus semakin ditigkatkan. Tidak hanya menerima teknologi super canggih dari berbagai Negara namun juga paham mengimplementasi teknologi sesuai dengan kebutuhan yang bermanfaat. Pengaturan telematika di Indonesia sepertinya masih kurang memuaskan. Semakin banyak pengguna yang mempelajari teknologi secara otodidak maka mereka akan semakin tertantang untuk mencoa suatu hal baru. Akan tetapi hal ini berkebalikan dengan jumlah aparat penegak hukum yang masih sedikit memahami seluk beluk teknologi informasi (internet), sehingga pada saat pelaku tindak pidana ditangkap, aparat penegak hukum mengalami, kesulitan untuk menemukan alat bukti yang dapat dipakai menjerat pelaku, terlebih apabila kejahatan yang dilakukan memiliki sistem pengoperasian yang sangat rumit.

5.     Kasus “Penyerangan pada website Partai Golkar”

Kelemahan admin dari suatu website juga terjadi pada penyerangan terhadap website http://www.golkar.or.id milik Partai Golkar. Serangan terjadi hingga 1577 kali melalui jalan yang sama tanpa adanya upaya menutup celah tersebut disamping kemampuan Hacker yang lebih tinggi, dalam hal ini teknik yang digunakan oleh Hacker adalah PHP Injection dan mengganti tampilan muka website dengan gambar wanita sexy serta gorilla putih sedang tersenyum. Teknik lain adalah yang memanfaatkan celah sistem keamanan server alias hole Cross Server Scripting (XXS) yang ada pada suatu situs. XXS adalah kelemahan aplikasi di server yang memungkinkan user atau pengguna menyisipkan baris-baris perintah lainnya.
Biasanya perintah yang disisipkan adalah Javascript sebagai jebakan, sehingga pembuat hole bisa mendapatkan informasi data pengunjung lain yang berinteraksi di situs tersebut. Makin terkenal sebuah website yang mereka deface, makin tinggi rasa kebanggaan yang didapat. Teknik ini pulalah yang menjadi andalan saat terjadi cyberwar antara hacker Indonesia dan hacker Malaysia, yakni perang di dunia maya yang identik dengan perusakan website pihak lawan. Menurut Deris Setiawan, terjadinya serangan ataupun penyusupan ke suatu jaringan komputer biasanya disebabkan karena administrator (orang yang mengurus jaringan) seringkali terlambat melakukan patching security (instalasi program perbaikan yang berkaitan dengan keamanan suatu sistem). Hal ini mungkin saja disebabkan karena banyaknya komputer atau server yang harus ditanganinya.
Tanggapan dan ulasan :
Dengan demikian maka terlihat bahwa kejahatan ini tidak mengenal batas wilayah (borderless) serta waktu kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang berbeda. Semua aksi itu dapat dilakukan hanya dari depan komputer yang memiliki akses Internet tanpa takut diketahui oleh orang lain/ saksi mata, sehingga kejahatan ini termasuk dalam Transnational Crime/ kejahatan antar negara yang pengungkapannya sering melibatkan penegak hukum lebih dari satu negara.
Mencermati hal tersebut dapatlah disepakati bahwa kejahatan IT/ Cybercrime memiliki karakter yang berbeda dengan tindak pidana umum baik dari segi pelaku, korban, modus operandi dan tempat kejadian perkara sehingga butuh penanganan dan pengaturan khusus di luar KUHP. Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesatnya haruslah di antisipasi dengan hukum yang mengaturnya dimana kepolisian merupakan lembaga aparat penegak hukum yang memegang peranan penting didalam penegakan hukum, sebab tanpa adanya hukum yang mengatur dan lembaga yang menegakkan maka dapat menimbulkan kekacauan didalam perkembangannya. Dampak negatif tersebut menimbulkan suatu kejahatan yang dikenal dengan nama “CYBERCRIME” yang tentunya harus diantisipasi dan ditanggulangi.

6.     Kasus  “Menghina Jogjakarta Lewat Media Sosial”

Media Sosial kini memang tengah digandrungi banyak kalangan, mulai dari anak kecil, anak muda hingga orang tua pun banyak yang menggunakannya. Bila tak hati-hati, seseorang pengguna internet bisa berurusan dengan penegak hukum. Termasuk kecerobohan yang membuat mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada (UGM) Florence Sihombing terjerat kasus hukum, akibat kicauannya di media social. Ulah Florence ini bermula ketika ia tengah mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) di salah satu SPBU di Yogyakarta. Ia dianggap tidak mau mengantre, saat itu ia yang mengendarai sepeda motor masuk ke jalur mobil di bagian Pertamax 95. Kekesalan Florence pun diungkapkan melalui akun Path miliknya dengan kalimat memaki-maki Kota Pelajar tersebut. “Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja,” tulis Florence dalam Path @florenceje, Kamis 28 Agustus 2014. Makian melalui status di media sosial itu sontak menyebar di dunia maya. Kicauan tersebut pun menuai umpatan di berbagai media sosial. Beberapa waktu kemudian, dia pun meminta maaf atas kata-katanya. Screen shoot permintaan maafnya itu di-posting oleh akun Twitter @swaragamafm Kamis, 28 Agustus 2014 pukul 8:36 WIB dalam bentuk attachement image.
“Florence Sihombing memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Jogja via akun Path-nya juga. #FlashBreak.”. Walau telah meminta maaf di beberapa media sosial dan menggelar konferensi pers melalui pengacaranya, Florence ternyata tetap diproses secara hukum. Terutama dengan adanya gugatan dari sejumlah komunitas di Yogyakarta. Berselang 2 hari, kalimat makian Florence Sihombing membuat dirinya berurusan hukum. Florence ditahan setelah kasus umpatan di media sosial yang menghina Yogyakarta dilaporkan ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dari saksi, statusnya naik menjadi tersangka. Pada Sabtu, 30 Agustus 2014 pukul 14.00 WIB dilakukan penahanan terhadapnya. Dia akan ditahan selama 20 hari ke depan. Juru bicara dan kuasa hukum Florence, Wibowo Malik merasa keberatan dengan penahanan kliennya. “Tapi kami tidak akan ngomong apa-apa dahulu sebelum surat-surat sampai menerima surat yang kami minta,” ujar Wibowo di Mapolda DIY, Yogyakarta. Wibowo pun mempertanyakan dasar penangkapan kliennya. Dia mengaku, belum mendapat surat perintah penangkapan kliennya. “Apa dasarnya klien kami ditangkap kalau bukan atas dasar surat perintah penyidikan, betul nggak,” ujar Wibowo. Florence diancam Pasal 311 KUHP Pasal 28 Ayat 2 Tahun 2008 tentang Pencemaran Nama Baik dengan ancaman hukuman penjara 4-6 tahun. Serta, Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman maksimal 6 tahun dan/atau denda Rp 1 miliar.

Tanggapan dan ulasan :

Sungguh ironis. Namun, perkara hukum yang dihadapi Florence Sihombing memang dapat menjadi pelajaran bagi siapa pun. Terutama pengguna media sosial agar bijak saat menuliskan status ataupun komentar di dunia maya. Sebaiknya, jika itu dapat memicu suatu kontra, janganlah dituangkan di media sosial. Karena dalam sekejap saja, akan banyak menuai protes dari publik yang merasa tidak setuju dengan apa yang dituliskan oleh kita.


DAFTAR PUSTAKA





Tidak ada komentar:

Posting Komentar