CONTOH
KASUS TELEMATIKA DI INDONESIA
1.
Kasus
“Penyadapan Australia Terhadap Indonesia”
Salah satu contoh kasus telematika
yang pernah terjadi di Indonesia yaitu mengenai penyadapan yang dilakukan
Australia pada sejumlah petinggi pemerintahan di Indonesia yang dianggap
melanggar etika kerjasama antar negara. Pihak pemerintahan Indonesia secara
tegas melayangkan nota protes melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa atas
kegiatan penyadapan yang dilakukan Australia dan AS. Sikap ini merupakan upaya
awal sebelum melakukan tindakan keras berupa pemutusan hubungan diplomatik
antar kedua negara. Terungkapnya penyadapan yang dilakukan Australia dilakukan
atas dasar pengkhiatan yang dilakukan oleh mantan pegawai kontrak Snowden.
Tindakan penyadapan yang dilakukan pemerintah Australia dilakukan untuk mencari
informasi secara ilegal sehingga pihak pemerintah Australia dapat lebih dahulu
mengetahui tentang kebijakan apa yang akan dibuat oleh pemerintah Indonesia.
Tindakan ini dinilai tidak sehat
dalam suatu hubungan diplomatik antar negara karena dilandasi rasa ingin tau
mengenai gagasan atau kebijakan yang akan diambil dari negara yang disadap.
Tindakan penyadapan juga dianggap bertentangan dengan hukum internasional
karena tidak sesuai dengan norma yang diatur dalam Konverensi tentang Hubungan
Diplomatik.
Tanggapan
dan ulasan :
Setelah saya membaca studi kasus
diatas mengenai penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap para petinggi
Indonesia, menurut saya kasus ini terjadi karena semakin maju dan berkembangnya
teknologi telekomunikasi di dunia. Telekomunikasi dapat membawa pengaruh
positif maupun negatif bagi kehidupan suatu individu, masyarakat maupun
pemerintahan. Dampak positif dengan adanya telematika kita dapat
memanfaatkan layanan E-mail, E-commerce, E-learning, E-Banking, E-Goverment dan
lain-lain sehingga transaksi dan informasi dapat dengan mudah dan cepat
didapatkan melalui perantara telematika. Namun disisi lain apabila penggunaan
telematika tidak dilakukan dengan bijak, maka akan menyebabkan kerugian bagi
suatu pihak, baik perorangan, golongan maupun pemerintahan, salah satunya
adalah mengenai kasus di atas. Dengan semakin maju dan berkembangnya telematika
di seluruh dunia, suatu pihak yang tidak bertanggung jawab dapat memanfaatkan
kemampuannya dalam bidang telematika untuk melakukan hal-hal yang sepatutnya
tidak dilakukan seperti penyadapan. Namun dengan bantuan teknologi telematika
pula hal tersebut dapat dicegah dan dihindari dengan memanfaatan metode
telekomunikasi tertutup. Penggunaan telematika dapat menjadi suatu hal yang
positif dan negatif tergantung dari siapa dan untuk apa seseorang
menggunakannya. Oleh karena itu, gunakanlah teknologi telematika dengan
sebijak-bijaknya agar hal tersebut diatas tidak terulang lagi.
2.
Kasus
“Bank BCA jadi sasaran carding”
Dunia
perbankan melalui Internet (ebanking) Indonesia, dikejutkan oleh ulah seseorang
bernama Steven Haryanto, seorang hacker dan jurnalis pada majalah Master Web.
Lelaki asal Bandung ini dengan sengaja membuat situs asli tapi palsu layanan
Internet banking Bank Central Asia, (BCA). Steven membeli domain-domain dengan
nama mirip http://www.klikbca.com
(situs asli Internet banking BCA), yaitu domain wwwklik-bca.com,
kilkbca.com, clikbca.com, klickca.com.
dan klikbac.com. Isi situs-situs plesetan
inipun nyaris sama, kecuali tidak adanya security untuk bertransaksi dan adanya
formulir akses (login form) palsu. Jika nasabah BCA salah mengetik situs BCA
asli maka nasabah tersebut masuk perangkap situs plesetan yang dibuat oleh
Steven sehingga identitas pengguna (user id) dan nomor identitas personal (PIN)
dapat di ketahuinya. Diperkirakan, 130 nasabah BCA tercuri datanya. Menurut
pengakuan Steven pada situs bagi para webmaster di Indonesia, http://www.webmaster.or.id,
tujuan membuat situs plesetan adalah agar publik menjadi lebih berhati – hati
dan tidak ceroboh saat melakukan pengetikan alamat situs (typo site), bukan
untuk mengeruk keuntungan.
Menurut
perusahaan Security Clear Commerce di Texas USA, saat ini Indonesia menduduki
peringkat ke 2 setelah Ukraina dalam hal kejahatan Carding dengan memanfaatkan
teknologi informasi (Internet) yaitu menggunakan nomor kartu kredit orang lain
untuk melakukan pemesanan barang secara online. Komunikasi awalnya dibangun
melalui e-mail untuk menanyakan kondisi barang dan melakukan transaksi. Setelah
terjadi kesepakatan, pelaku memberikan nomor kartu kreditnya dan penjual
mengirimkan barangnya, cara ini relatif aman bagi pelaku karena penjual
biasanya membutuhkan 3 –5 hari untuk melakukan kliring atau pencairan dana
sehingga pada saat penjual mengetahui bahwa nomor kartu kredit tersebut bukan
milik pelaku barang sudah terlanjur terkirim. Dengan demikian maka terlihat
bahwa kejahatan ini tidak mengenal batas wilayah (borderless) serta waktu
kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang berbeda. Semua
aksi itu dapat dilakukan hanya dari depan komputer yang memiliki akses Internet
tanpa takut diketahui oleh orang lain/ saksi mata, sehingga kejahatan ini
termasuk dalam Transnational Crime/ kejahatan antar negara yang pengungkapannya
sering melibatkan penegak hukum lebih dari satu negara.
Tanggapan dan ulasan :
Menurut
saya mencermati hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kejahatan IT/ Cybercrime
memiliki karakter yang berbeda dengan tindak pidana umum baik dari segi pelaku,
korban, modus operasi dan tempat kejadian perkara sehingga butuh penanganan dan
pengaturan khusus di luar KUHP. Perkembangan teknologi informasi yang demikian
pesatnya haruslah di antisipasi dengan hukum yang mengaturnya dimana kepolisian
merupakan lembaga aparat penegak hukum yang memegang peranan penting didalam
penegakan hukum, sebab tanpa adanya hukum yang mengatur dan lembaga yang
menegakkan maka dapat menimbulkan kekacauan didalam perkembangannya.
3. Kasus “Kejahatan kartu
kredit yang dilakukan lewat transaksi online di Yogyakarta”
Polda DI Yogyakarta menangkap lima
carder dan mengamankan barang bukti bernilai puluhan juta, yang didapat dari
merchant luar negeri. Begitu juga dengan yang dilakukan mahasiswa sebuah
perguruan tinggi di Bandung, Buy alias Sam. Akibat perbuatannya selama setahun,
beberapa pihak di Jerman dirugikan sebesar 15.000 DM (sekitar Rp 70 juta). Para
carder beberapa waktu lalu juga menyadap data kartu kredit dari dua outlet
pusat perbelanjaan yang cukup terkenal. Caranya, saat kasir menggesek kartu
pada waktu pembayaran, pada saat data berjalan ke bank-bank tertentu itulah
data dicuri. Akibatnya, banyak laporan pemegang kartu kredit yang mendapatkan
tagihan terhadap transaksi yang tidak pernah dilakukannya.
Modus kejahatan ini adalah
penyalahgunaan kartu kredit oleh orang yang tidak berhak. Motif kegiatan dari
kasus ini termasuk ke dalam cybercrime sebagai tindakan murni kejahatan. Hal
ini dikarenakan si penyerang dengan sengaja menggunakan kartu kredit milik
orang lain. Kasus cybercrime ini merupakan jenis carding. Sasaran dari kasus
ini termasuk ke dalam jenis cybercrime menyerang hak milik (against property).
Sasaran dari kasus kejahatan ini adalah cybercrime menyerang pribadi (against
person).
Tanggapan
dan ulasan :
Dari kasus di atas dapat kita
ketahui bahwa keterampilan sesorang tidak hanya di nilai dari standar
pendidikannya saja. Semakin berkembangnya teknologi, ditamah dengan perluasan
jaringan internet memudahkan siapapun dalam mengeksplor pengetahuan. Bahkan
hingga pengetahuan yang tidak baik hingga menghasilkan keterampilan yang
merugikan orang lain. Solusi yang harusnya dijalankan adalah adanya cyberlaw,
penggunaan enkripsi dan adanya dukungan lembaga khusus yang dapat memberikan
informasi mengenai cybercrime.
Namun sampai saat ini pemerintah
Indonesia belum memiliki perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang
cyber crime belum juga terwujud. Cyber crime memang sulit untuk dinyatakan atau
dikategorikan sebagai tindak pidana karena terbentur oleh asas legalitas. Untuk
melakukan upaya penegakan hukum terhadap pelaku cyber crime, asas ini cenderung
membatasi penegak hukum di Indonesia untuk melakukan penyelidikan ataupun
penyidikan guna mengungkap perbuatan tersebut karena suatu aturan undang-undang
yang mengatur cyber crime belum tersedia. Asas legalitas ini tidak
memperbolehkan adanya suatu analogi untuk menentukan perbuatan pidana. Meskipun
penerapan asas legalitas ini tidak boleh disimpangi, tetapi pada prakteknya
asas ini tidak diterapkan secara tegas atau diperkenankan untuk terdapat pengecualian.
4.
Kasus “Artis Indonesia”
Sandra dewi merupakan salah satu
korban dari kejahatan telematika di Indonesia, Sandra Dewi kembali melakukan preskon untuk meng-klarifikasi
foto-foto bugilnya yang merupakan hasil rekayasa orang yang tak bertanggung
jawab. Dalam kesempatan tersebut, Sandra didampingi oleh seorang pengamat
telematika Roy Suryo dan perwakilan dari Multivision. Dalam pandangan Roy,
foto-foto Sandra jelas dan nyata hasil rekayasa semata. “Foto ini jelas
merugikan Sandra Dewi secara mental maupun psikis. Untuk gambar kepala,
master-nya diambil dari sebuah situs ternama. Dan kejahatan semacam ini memang
ada belum ada undang-undangnya,” jelas Roy di Belezza Permata Hijau. Lebih
lanjut, kata Roy, dirinya sebagai pengamat telematika dan bukan pakar
telematika seperti selama ini banyak disebut media, selalu berusaha memberikan
jawaban setiap ada pertanyaan. “Dan baru kali ini ada seorang artis secara
tulus menelepon saya. Dalam kasus seperti ini ada tiga jenis motif. Pertama
karena korban murni, kedua karena dijebak dan ketiga dengan sengaja orang
tersebut menyebarkan untuk sebuah popularitas,” papar Roy. “Dan kasus Sandra Dewi ini yang pertama. Jelas
gambar ini masih terlihat kasar, tapi dengan kemajuan teknologi tidak menutup
kemungkinan akan terlihat lebih halus pada tahun mendatang,” tambahnya.
Sementara Sandra mengaku bahwa foto-foto bugil hasil rekayasa tersebut
merupakan satu bentuk fitnah atas dirinya.
Tanggapan dan ulasan :
Merubah sebuah citra dengan sengaja
demi mencari popularitas atau menjatuhkan popularitas objek tersebut sepertinya
sudah biasa di dunia entertainment, khususnya di Indonesia. Banyaknya pengaduan
yang dilakukan beberapa artis menggamarkan bahwa sebuah privacy sudah berubah
status menjadi rahasia umum. Terlepas apakah foto-foto tersebut asli atau hanya
rekayasa, seharusnya pengawasan teknologi di dalam negri harus semakin
ditigkatkan. Tidak hanya menerima teknologi super canggih dari berbagai Negara
namun juga paham mengimplementasi teknologi sesuai dengan kebutuhan yang
bermanfaat. Pengaturan telematika di Indonesia sepertinya masih kurang
memuaskan. Semakin banyak pengguna yang mempelajari teknologi secara otodidak
maka mereka akan semakin tertantang untuk mencoa suatu hal baru. Akan tetapi
hal ini berkebalikan dengan jumlah aparat penegak hukum yang masih sedikit
memahami seluk beluk teknologi informasi (internet), sehingga pada saat pelaku
tindak pidana ditangkap, aparat penegak hukum mengalami, kesulitan untuk
menemukan alat bukti yang dapat dipakai menjerat pelaku, terlebih apabila
kejahatan yang dilakukan memiliki sistem pengoperasian yang sangat rumit.
5. Kasus
“Penyerangan pada website Partai Golkar”
Kelemahan
admin dari suatu website juga terjadi pada penyerangan terhadap website http://www.golkar.or.id milik Partai
Golkar. Serangan terjadi hingga 1577 kali melalui jalan yang sama tanpa adanya
upaya menutup celah tersebut disamping kemampuan Hacker yang lebih tinggi,
dalam hal ini teknik yang digunakan oleh Hacker adalah PHP Injection dan
mengganti tampilan muka website dengan gambar wanita sexy serta gorilla putih
sedang tersenyum. Teknik lain adalah yang memanfaatkan celah sistem keamanan
server alias hole Cross Server Scripting (XXS) yang ada pada suatu situs. XXS
adalah kelemahan aplikasi di server yang memungkinkan user atau pengguna
menyisipkan baris-baris perintah lainnya.
Biasanya
perintah yang disisipkan adalah Javascript sebagai jebakan, sehingga pembuat
hole bisa mendapatkan informasi data pengunjung lain yang berinteraksi di situs
tersebut. Makin terkenal sebuah website yang mereka deface, makin tinggi rasa
kebanggaan yang didapat. Teknik ini pulalah yang menjadi andalan saat terjadi
cyberwar antara hacker Indonesia dan hacker Malaysia, yakni perang di dunia
maya yang identik dengan perusakan website pihak lawan. Menurut Deris Setiawan,
terjadinya serangan ataupun penyusupan ke suatu jaringan komputer biasanya
disebabkan karena administrator (orang yang mengurus jaringan) seringkali
terlambat melakukan patching security (instalasi program perbaikan yang
berkaitan dengan keamanan suatu sistem). Hal ini mungkin saja disebabkan karena
banyaknya komputer atau server yang harus ditanganinya.
Tanggapan
dan ulasan :
Dengan
demikian maka terlihat bahwa kejahatan ini tidak mengenal batas wilayah (borderless)
serta waktu kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang
berbeda. Semua aksi itu dapat dilakukan hanya dari depan komputer yang memiliki
akses Internet tanpa takut diketahui oleh orang lain/ saksi mata, sehingga
kejahatan ini termasuk dalam Transnational Crime/ kejahatan antar negara yang
pengungkapannya sering melibatkan penegak hukum lebih dari satu negara.
Mencermati
hal tersebut dapatlah disepakati bahwa kejahatan IT/ Cybercrime memiliki
karakter yang berbeda dengan tindak pidana umum baik dari segi pelaku, korban,
modus operandi dan tempat kejadian perkara sehingga butuh penanganan dan
pengaturan khusus di luar KUHP. Perkembangan teknologi informasi yang demikian
pesatnya haruslah di antisipasi dengan hukum yang mengaturnya dimana kepolisian
merupakan lembaga aparat penegak hukum yang memegang peranan penting didalam
penegakan hukum, sebab tanpa adanya hukum yang mengatur dan lembaga yang
menegakkan maka dapat menimbulkan kekacauan didalam perkembangannya. Dampak
negatif tersebut menimbulkan suatu kejahatan yang dikenal dengan nama
“CYBERCRIME” yang tentunya harus diantisipasi dan ditanggulangi.
6. Kasus “Menghina Jogjakarta
Lewat Media Sosial”
Media
Sosial kini memang tengah digandrungi banyak kalangan, mulai dari anak kecil,
anak muda hingga orang tua pun banyak yang menggunakannya. Bila tak hati-hati,
seseorang pengguna internet bisa berurusan dengan penegak hukum. Termasuk
kecerobohan yang membuat mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada (UGM) Florence
Sihombing terjerat kasus hukum, akibat kicauannya di media social. Ulah
Florence ini bermula ketika ia tengah mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) di salah
satu SPBU di Yogyakarta. Ia dianggap tidak mau mengantre, saat itu ia yang
mengendarai sepeda motor masuk ke jalur mobil di bagian Pertamax 95. Kekesalan
Florence pun diungkapkan melalui akun Path miliknya dengan kalimat memaki-maki
Kota Pelajar tersebut. “Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman
Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja,” tulis Florence dalam Path @florenceje,
Kamis 28 Agustus 2014. Makian melalui status di media sosial itu sontak
menyebar di dunia maya. Kicauan tersebut pun menuai umpatan di berbagai media
sosial. Beberapa waktu kemudian, dia pun meminta maaf atas kata-katanya. Screen
shoot permintaan maafnya itu di-posting oleh akun Twitter @swaragamafm Kamis,
28 Agustus 2014 pukul 8:36 WIB dalam bentuk attachement image.
“Florence
Sihombing memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Jogja via akun
Path-nya juga. #FlashBreak.”. Walau telah meminta maaf di beberapa media sosial
dan menggelar konferensi pers melalui pengacaranya, Florence ternyata tetap
diproses secara hukum. Terutama dengan adanya gugatan dari sejumlah komunitas
di Yogyakarta. Berselang 2 hari, kalimat makian Florence Sihombing membuat
dirinya berurusan hukum. Florence ditahan setelah kasus umpatan di media sosial
yang menghina Yogyakarta dilaporkan ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dari saksi, statusnya naik menjadi tersangka. Pada Sabtu, 30 Agustus 2014 pukul
14.00 WIB dilakukan penahanan terhadapnya. Dia akan ditahan selama 20 hari ke
depan. Juru bicara dan kuasa hukum Florence, Wibowo Malik merasa keberatan
dengan penahanan kliennya. “Tapi kami tidak akan ngomong apa-apa dahulu sebelum
surat-surat sampai menerima surat yang kami minta,” ujar Wibowo di Mapolda DIY,
Yogyakarta. Wibowo pun mempertanyakan dasar penangkapan kliennya. Dia mengaku,
belum mendapat surat perintah penangkapan kliennya. “Apa dasarnya klien kami
ditangkap kalau bukan atas dasar surat perintah penyidikan, betul nggak,” ujar
Wibowo. Florence diancam Pasal 311 KUHP Pasal 28 Ayat 2 Tahun 2008 tentang
Pencemaran Nama Baik dengan ancaman hukuman penjara 4-6 tahun. Serta, Pasal 28
ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) dengan ancaman maksimal 6 tahun dan/atau denda Rp 1 miliar.
Tanggapan dan ulasan :
Sungguh
ironis. Namun, perkara hukum yang dihadapi Florence Sihombing memang dapat
menjadi pelajaran bagi siapa pun. Terutama pengguna media sosial agar bijak
saat menuliskan status ataupun komentar di dunia maya. Sebaiknya, jika itu
dapat memicu suatu kontra, janganlah dituangkan di media sosial. Karena dalam
sekejap saja, akan banyak menuai protes dari publik yang merasa tidak setuju
dengan apa yang dituliskan oleh kita.
DAFTAR PUSTAKA